Menjalani 3 Peran Sekaligus
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Saya membuat postingan ini di akhir Juli 2023, dengan usia pernikahan 2,5 tahun. Masih sangat seumur jagung. Masih termasuk di halaman awal dari ribuan halaman perjalanan di depan.
Kepala Keluarga
Menikah bagi laki-laki, berarti menjadi kepala keluarga. Menjadi pemimpin untuk istri dan anak. Menafkahi keluarga, memenuhi kebutuhan mereka.
Bagi pria yang sudah menikah bertahun-tahun, mungkin sudah terbiasa dengan menjalani 3 peran sekaligus: menjadi kepala keluarga, bapak, dan suami.
Saya masih beradaptasi dengan hal itu.
Dulu, bangun pagi, saya hanya memikirkan apa yang saya lakukan dalam satu hari itu. Apa saja yang harus dipersiapkan, apa saja rencana ke depannya. Sekarang, saya bangun pagi, pikiran saya langsung terpecah menjadi beberapa cabang.
Saya bangun tidur sekitar jam tiga pagi. Saya pertama langsung mengecek popok bayi apakah tembus atau tidak. Terus saya membenarkan posisi tidurnya. Bayi mulai banyak gerak saat tidur. Saya sudah di tahap tidak kaget lagi ketika bangun-bangun ada kaki bayi di kepala saya.
Saya bikin kopi untuk memberikan fokus lebih di pagi hari. Kalau cucian piring masih menumpuk, ya sekalian saya cuci dulu. Kalau ternyata sudah selesai, saya bisa langsung mengerjakan kerjaan saya.
Saya punya waktu kurang lebih 2 jam sebelum waktu solat Subuh, dan sebelum memasuki waktu istri saya memasak. Istri memasak biasanya dimulai dengan menanyakan mau makan apa hari ini, lalu mengecek bahan dapur sudah lengkap apa belum, kalau belum berarti beli dulu, kemudian baru kembali ke dapur untuk memulai memasak.
Saat istri memasak, saya punya opsi: apakah saya lanjut mengerjakan kerjaan saya atau mau bersih-bersih rumah (menyapu, mengepel, dan sejenisnya). Tapi biasanya dua opsi terhapuskan ketika anak saya bangun. Berarti saya harus menemaninya, juga menjaganya jauh dari dapur agar tidak menganggu urusan masak-memasak.
Contoh lain,
Dulu, saat saya naik motor, yang saya persiapkan, ya, helm saya, masker saya, dan barang bawaan saya (dompet, helm, powerbank, sunglasses, dll). Sekarang, saat saya naik motor, saya harus mempersiapkan barang bawaan saya, barang bawaan istri, dan barang bawaan bayi.
Barang bawaan bayi itu berarti satu tas merah kecil berisi: botol air minum bayi, tisu kering, tisu basah, popok cadangan, kaus kaki, dan masker.
Barang bawaan istri sebenarnya lebih sedikit dan kurang lebih sama dengan saya, tapi ini harus tetap saya cek dan tanya ke istri apakah semuanya sudah lengkap.
“Dompet sudah bawa?”
“Handphone?”
“Hand sanitizer?”
Semua ini menjadi hal lumrah yang harus dilakukan. Karena sekarang, saya berjalan satu paket, satu keluarga dengan istri dan anak saya.
Bapak
Saya sekarang punya anak laki-laki menuju dua tahun.
Fasenya sekarang, suka nimbrung di semua kegiatan yang saya lakukan.
Ketika saya lagi cuci piring, dia akan ambil kursi, ditaruh di samping saya, lalu berdiri di atas kursi tersebut. Kadang cuma melototin dari samping, kadang ingin mencoba membantu dengan tangannya maenan keran air. Piring dan gelas tetap tidak bersih, tapi airnya jadi kemana-mana.
Usianya yang menuju dua tahun, saya mulai diingatkan dengan Terrible Two. Istilah yang menggambarkan perubahan suasana hati dan perilaku anak pada usia 2 tahun. Misalnya di menit pertama, anak saya akan asyik bermain dengan mainannya. Tidak lama kemudian, ia bisa merasa kesal dengan mainannya tersebut. Bisa langsung menangis atau berteriak-teriak.
Jadi saya sudah tidak kaget, kalau saya lagi duduk santai menemani anak maen, tiba-tiba ada mobil mainan kelempar ke muka saya.
Lempar-melempar dan menjatuhkan barang ini memang menjadi rutinitasnya.
Lagi makan duduk tenang, tiba-tiba piring dipukul.
Lagi minum beberapa teguk, tiba-tiba langsung dibuang botol airnya.
Fase ini tidak terjadi satu dua jam dalam sehari, ini terjadi dalam keseluruhan hari. Pagi siang sore malam.
Dari bangun pagi yang langsung melompat sangat semangat, sampai susahnya untuk menidurkan kembali di kasur.
Orang tua dituntut ekstra sabar, juga harus ekstra tenaga.
Suami
Dan dari itu semua, ada istri yang harus tetap diutamakan. Ada ceritanya yang harus didengarkan, ada masalahnya yang harus diselesaikan.
Istri mengalami banyak perubahan. Beda sekali saat sebelum menikah, setelah menikah, saat hamil, ketika pemulihan setelah lahiran, dan setelah punya anak satu.
Moodnya yang naik-turun harus ditemani dengan sabar dan waktu yang tepat untuk memberikan tanggapan.
Karena kadang, yang ia butuhkan hanyalah saya menemaninya, sambil mendengarkan ceritanya. Tanpa saya harus memberikan solusi atau komentar apapun.
Tuntutan membaca kondisi dan situasi dengan baik, memang saya akui agak sulit. Ini masih saya terus pelajari. Satu waktu, bisa pas. Lain waktu, tidak pas, dan saya yang harus membuatnya kembali ceria seperti sedia kala.
Beberapa minggu yang lalu, saya dan istri sempat jalan berdua untuk pertama kalinya setelah punya anak. Kurang lebih harus menanti 1,5 tahun agar bisa menonton film berdua saja tanpa anak.
Kegiatannya sederhana, kami nonton, kami makan, lalu kami pulang. Itu hanya terjadi dalam 3 jam, tapi itu sudah lebih dari cukup. Mengingatkan masa-masa sebelum punya anak. Memberikan jeda sebentar sebagai orang tua, memupuk kembali koneksi sebagai suami istri.
Dalam 24 jam, saya harus menjadi kepala keluarga, bapak, dan suami, dan saya masih dalam beradaptasi dengan hal ini.
Mengatur waktu, mengatur emosi, mengatur rencana. Mengurusi itu semua bersamaan, meski dengan tenaga yang tersisa.
Saya tentunya masih harus menjadi diri sendiri. Entah itu melakukan hobi yang dari dulu saya lakukan, atau duduk bengong saja tanpa memikirkan apapun (it’s really good, though).
Ketegangan di kepala harus diturunkan, emosi harus bisa diredam. Semua harus kembali ke titik nol untuk memulai hari baru. Karena untuk menjalani 3 peran sekaligus, butuh energi ekstra yang sudah kembali terisi.
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Social Media: https://beacons.ai/aldypradana17