7 Dosa Social Media Yang Mematikan

Aldy Pradana
4 min readJan 15, 2021

--

Idmetafora.com

Saya termasuk orang yang sangat-sangat mengandalkan media sosial untuk berjualan.

Karena itu, saya mencari banyak informasi tentang menggunakan social media.

Lalu, di buku Unmarketing yang sedang saya baca, akhirnya masuk ke tema yang tepat untuk saya: kesalahan di media sosial.

Serakah

Di buku ini menjelaskan, serakah adalah dosa yang populer. Kebanyakan, orang menggunakan Twitter hanya sebagai feed untuk mempromosikan blog atau iklan.

Mereka jadi tidak memiliki kepribadian. Mereka memang menjalankan bisnis, tapi seharusnya mereka membuat hubungan untuk bisnisnya.

Rakus

Dapatkan followers dengan cepat!

Kalau anda tergoda dengan ini, anda hanya akan mengandalkan angka.

Di Facebook, membawa keserakahan ke level yang berbeda. Notifikasi FB kadang memberikan sesuatu yang tidak terpikirkan, seperti Bebas Dari Jebakan Lemak.

Seseorang memberikan undangan yang bahkan punya miliknya sendiri. Tujuannya pun tidak jelas. Share untuk membantu atau untuk menyinggung. Mungkin, orang ini mendapatkan keuntungan sendiri setelah membagikan ini ke pengguna FB yang lain.

Yang jelas, ini sudah terlalu rakus.

Kemalasan

Twitter adalah tempat bercakap.

Tapi coba bayangkan, saat kamu mengobrol di Twitter, lalu dibalas dengan bahasa kaku. Itu pun dibalas sangat lama.

“Hei, bagaimana bisnisnya?”

“Baik. Terima kasih.”

Obrolan jadi tidak menarik.

Padahal, media sosial untuk bersosialisasi.

Ini yang cukup menohok buat saya. Berarti saya seharusnya aktif dan interaktif selama di semua social media. Iya, semua.

Lebih sering berkomentar, lebih sering reply, lebih sering ngobrol. Terhubung dengan banyak orang. Dengan terhubung, bisnis akan jalan sendirinya. Dan ingat, bahwa setiap platform punya cara sendiri.

Komentar di Twitter dan Instagram mungkin punya fitur yang mirip, tapi dua platform itu cukup berbeda.

Iri

“Ayo dong jaga lingkungan kayak artis A.”

“Masa kalah, sih, sama B. Dia aja bisa.”

“Saya sudah follow anda dari dulu, tapi baru ini saya kecewa. Seharusnya anda itu begini. Lihat itu C saja bisa.”

Itu adalah suara netizen dan kuasanya untuk menyuruh akun yang mereka follow untuk berbuat sesuatu.

Para followers ini beranggapan, karena sudah follow, maka punya kekuasaan untuk mengatur akun tersebut. Bahkan sampai mempunyai rasa memiliki.

Emosinya berkembang, dan berlebihan. Marah akan sesuatu, kritik akan sesuatu, iri akan sesuatu.

Marah

Kebanyakan dari kita berpikir sebelum mengetik komentar. Kadang, itu tidak masalah. Tapi tak jarang, orang bereaksi berlebihan di media sosial.

Dibutuhkan ribuan postingan untuk membangun reputasi, dan satu komentar penuh emosi dapat menghancurkan semuanya.

Begitu juga sebaliknya.

Menjadi objek kemarahan bisa terjadi.

Entah cuma salah ketik nama, atau dianggap menyinggung suatu hal. Padahal, kita tidak ada niat untuk menyinggung.

Ada satu kalimat yang bisa menjadi landasan:

Berikan pujian di ruang publik dan bantulah secara pribadi.

Nafsu

Foto menarik perhatian.

Foto profil harus menarik.

Feed Instagram harus seistimewa mungkin.

Orang-orang bernafsu untuk tampil sebaik mungkin. Wajar, itu masuk akal. Semakin oke fotonya, likes pun meninggi.

Makanya, tak heran, banyak akun memakai jalan pintas dengan foto seksi. Cepat menambah follower, cepat meraih banyak likes.

Bangga

Bangga seharusnya boleh dan wajar.

Cuma banyak sekali, orang terlalu bangga dan memamerkan pujian — banyak pujian di social media.

Twitter isinya RT pujian dari followersnya. Instagram story isinya pujian. Seharusnya, itu tidak salah. Tapi kalo 30 postingan isinya pujian, ya, berlebihan juga.

Itu dia rangkuman singkat dari bab keenam belas, buku Unmarketing. Semoga tulisan ini bermanfaat dan dapat menginspirasi.

Terima kasih sudah membaca sampai akhir.

Instagram: @arsenio.store.id dan Tokopedia: Arsenio Apparel Store

--

--

Aldy Pradana

Talks about Social Media, Movies, & Pop culture | Personal Blog: aldypradana.com | Instagram: @aldy_pradana17 & @arsenio.store.id